Idul Fitri: Momentum Memaafkan Oleh: Shalahuddin Yusuf Al Ayyubi*

Dikutip dari buku How Did the Prophet & His Companions Celebrate Eid? ​​​​​Rasulullah saw dan umat Islam pertama kali menggelar perayaan hari raya Idul Fitri pada tahun kedua Hijriyah (624 M) atau usai Perang Badar pada tahun 2 Hijriah. Dalam pertempuran tersebut, umat Islam berhasil mengalahkan 1000 tentara dari kaum Quraisy dan tentara kaum Muslimin yang hanya berjumlah 319 tentara. Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah dan para sahabat melaksakan shalat Idul fitri pertama kali dengan kondisi luka-luka.


Idul fitri merupakan hari besar yang dilaksanakan setahun sekali oleh umat muslim di seluruh dunia, yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada penanggalan Hijriah. Idul fitri juga dikatakan sebagai hari kemenangan bagi umat muslim karena telah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh dengan menahan lapar dan haus dan juga menjauhi berbagai perbuatan yang di larang oleh agama. Idul fitri memberikan rasa bahagia bagi yang merayakan, karena dapat mempertemukan kita dengan saudara kerabat dan keluarga, dan yang tadinya kita jarang mengerjakan amal saleh, mungkin setelah melewati bulan puasa, kita jadi terbiasa mengerjakan amal saleh
kegiatan atau tradisi dilakukan di hari idul fitri, ada yang membuat ketupat untuk dibagikan kepada tetangga kemudian membayar zakat dan suara takbiran yang mengiringi malam idul fitri, sebagai ungkapan rasa Syukur dan pengagungan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunianya. Dan tidak lupa juga dengan tradisi yang sangat mulia yaitu Halal bi halal atau saling maaf-memaafkan.


Idul fitri merupakan momentum untuk saling bermaaf-maafan, Karena bulan Ramadhan telah mengajarkan kita untuk menjadi hamba dengan pribadi yang luhur, kemampuan kita untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ketika puasa Ramadhan, oleh karena itu harus senantiasa kita istiqomahkan. Seperti dalam hadist, nabi Muhammad saw berkata, “Barang siapa memaafkan saat dia mampu membalas maka allah memberinya maaf pada hari kesulitan” (HR Ath- Thabrani). Karena sejatinya memaafkan orang itu tidak pernah rugi, justru kita yang akan rugi jika tidak memaafkan.


Sikap memaafkan selain memberikan nilai pahala bagi orang yang mengamalkannya, juga mengisyaratkan adanya jalinan yang harmonis terhadap orang yang melakukan kesalahan. Oleh karena itu, memaafkan menjadi salah satu pilar untuk membangun keharmonisan hubungan dengan orang lain. Kita juga jangan pernah merasa kalau kita tidak pernah berbuat salah kepada orang lain, terkadang pendapat kita itu berbeda dengan pendapat orang, mungkin yang menurut kita biasa-biasa saja itu dapat menyakiti perasaan orang lain. Jadi tidak ada alasan untuk tidak saling meminta maaf terhadap sesama manusia.


Rasulullah juga mengajarkan kepada kita untuk tidak berbuat jahat dan memaafkan kesalahan orang lain. Mengutip buku Mutiara Hadis Qudsi oleh Ahmad Abduh Iwadh, Aisyah ra pernah ditanya mengenai akhlak Rasulullah saw, maka ia menjawab, “Beliau tidak pernah berbuat jahat, tidak berbuat keji, tidak meludah di tempat keramaian, dan tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, melainkan beliau selalu memaafkan dan memaklumi kesalahan orang lain” (HR Ibnu Hibban).


Pada hari-hari biasanya kita sulit sekali meminta maaf dan memaafkan. Akan tetapi Ketika lebaran, setiap kali orang bertemu orang, mulut mereka dengan mudah dan ringan mengucapkan kalimat “mohon maaf lahir dan batin”. Sungguh mulia orang yang pertama kali mengajarkan kebaikan atau saling maaf-memaafkan, hingga hal itu mentradisi dan diikuti oleh orang-orang dari generasi ke generasi. Alasannya, menurut psikologis, untuk memaafkan lebih mudah dilakukan antara orang dengan orang yang suasana hatinya sedang bahagia. Hal ini menunjukkan bahwa dalam situasi sehari-hari, keputusan untuk memberi maaf sangat tergantung dari disposisi individual, termasuk suasana hati yang sedang dirasakan.


Kemudian salah satu tanda orang yang bertakwa adalah orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain. Seperti dalam Al-Quran surat Al-Imran Ayat 134, yang artinya: “(orang yang bertakwa yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (QS Ali Imran : 134)
Momen Lebaran membawa setiap orang untuk saling bertemu dalam suasana hangat untuk meminta maaf atas kesalahan yang sengaja diperbuat maupun tidak sengaja, baik lisan maupun perbuatan, baik lahir maupun batin. Penerima maaf pun akan memberikan maaf dengan sukarela. Terdengar gemuruh-gemuruh orang yang saling bersalaman ada juga yang saling berpelukan dengan di iringi suara “minal aidin wal faizin” atau ”Taqabbalallahu minna wa minkum”.

Penulis adalah Siswa MAN 2 Cirebon / MAN Ciwaringin Cirebon Kelas XI MIPA 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *