Fitrah Akliyah Siswa dan Pengembanganyadalam Pendidikan

Oleh : Ahmad Fadlali, S.Ag, M.A.

Pendidikan merupakan proses humanisasi yang dipengaruhi kondisi dan situasi, serta berfungsi dalam bingkai kultur dengan konstruksinya yang kompleks. Pendidikan menghubungkan manusia dengan suatu masyarakat yang memiliki karakteristik cultural. Untuk itu pendidikan memberi manusia dengan sifat-sifat kemanusiaan yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya. Sifat-sifat kemanusiaan ini terfokus pada potensi atau fitrah yang dimiliki manusia (baca; siswa) dan tidak dimiliki makhluk lainnya yaitu berupa “akal budi”. Sangat logis kalau manusia disebut sebagai “thinking animal” atau menurut Naquib al-Attas disebut dengan hewan rasional (rational animal, hayawan natiq).


Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 di jelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan kata lain, pendidikan diharapkan dapat membentuk sumber daya manusia yang berkarakter, cerdas dan cakap, dengan mengembangkan potensi yang dimiliki siswa, salah satunya fitrah akliyah.


Munculnya Kurikulum Merdeka sekarang ini, karena menghendaki terselenggaranya proses pendidikan yang didasarkan atas prinsip-prinsip kemerdekaan, kemandirian, dan kesamaan hak yang dapat menggiring semua orang ke arah kehidupan yang lebih baik. Hal ini juga didorong pada pembentukan proses pembelajaran yang mandiri. Dengan kata lain bahwa siswa memiliki kemerdekaan dalam memperoleh pendidikan secara mandiri. Selain itu, siswa memiliki hak yang sama dalam pemerolehan pengetahuan yang disesuaikan dengan bakat, minat serta kemampuan siswa itu sendiri.


Sebagaimana kita pahami, bahwa manusia oleh Allah diberi amanah untuk menjadi khalifah fi al-ardh dengan berbagai fitrah yang dimilkinya. Diantara fitrah tersebut adalah akal fikiran yang dapat membedakannya dengan makhluk ciptaan Allah lainnya, atau dalam term pendidikan Islam disebut fitrah akliyah. Fitrah tersebut merupakan potensi dasar manusia menjadi tidak bermakna ketika tidak dikembangkan. Bahkan banyak sekali isyarat-isyarat dalam al-Qur’an yang berkaiatan dengan akal sebagai bentuk daya berfikir. Berfikir sebagai bentuk penggunaan akal dalam al-Qur’an diungkap dengan berbagai kata, seperti; ya’qilu, nazhara, tafakara, tadzakara dan yang lainnya.


Fitrah akliyah siswa adalah potensi bawaan yang dimiliki siswa dan mempunyai daya untuk memperoleh ilmu pengetahuan, dapat membedakan antara baik dan buruk serta benar dan salah. Oleh karena itu fitrah akliyah atau fitrah intelek selalu berhubungan dengan akal. Akal merupakan jalinan antara rasa dan rasio, yang mampu menerima segala sesuatu, dapat ditangkap oleh indra dan sesuatu diluar pengalaman empiris. Karena masih merupakan potensi bawaan, maka guru berkewajiban untuk “mengembangkan” potensi dasar tersebut. Tanpa adanya upaya untuk membina, mendidik, mengarahkan dan mengembangkan potensi dasar tersebut, maka cita-cita menuju terciptanya insan kamil yang mampu untuk mengemban amanah sebagai khalifah fi al-ardh akan jauh dari kenyataan.


Ketika fitrah akliyah dikembangkan, dalam pendekatan Pendidikan Islam sedikitnya akan membentuk tiga hal. Pertama, kepribadian muslim, yaitu integrasi system kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah yang terkandung dalam al-Qur’an. Kalbu sebagai aspek supra kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya emosi. Akal sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya kognisi atau daya cipta. Sementara nafsu sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya konasi. Ketiganya berintegrasi menjadi satu sehingga menimbulkan tingkah laku. Proses pembentukan keribadian muslim terbagi menjadi tiga tahap yaitu; pembentukan pembiasaan, pembentukan pengertian, sikap dan minat serta pembentukan kerohaniaan yang luhur. Bila dihubungkan dengan tingkat perkembangan anak, maka tahap ini perlu detekankan terutama untuk jenjang pendidikan TK / RA sampai dengan SMP/MTs.


Kedua, membentuk kreatifitas berfikir dengan memulai usahanya melalui pengakuan potensi kreatif siswa, menghormati pertanyaan dan ide siswa, serta menghadapkan siswa pada permasalahan-permasalahan yang bersifat proaktif untuk menimbulkan kreatifitas dan imagination. Kreatifitas dapat muncul dari otak rasional (IQ) maupun dari emosi (EQ). Kreativitas yang muncul dari dimensi emosional sesuai dengan pandangan otak kanan yang berkarakter logis, matematis, sekuensial atau akademis. Sedang otak kiri yang cenderung emosional, artistic, ritmis, inovatif dan imajinatif, juga disebut sebagai aktivitas kreatif, menjadi sangat berkenan dari asal muasal munculnya kreativitas. Cara bekerja otak kanan menurut Bobbi Deprter dan Mike Hernacki yaitu bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistic. Sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial, rasional dan linier. Sehingga jelas sekali IQ dan EQ sangat berperan dalam kaitanya dengan proses kreativitas seseorang. Namun demikian proses kreativitas sendiri masih harus dikontrol dengan SQ, hal ini dimaksudkan agar kreativitas yang dimiliki siswa menjadi terkendali dan tidak menyimpang dengan nilai-nilai ke Tuhan-an.


Ketiga, berfikir berlandaskan syareat. Syareat merupakan landasan bagi kegiatan berfikir yang meliputi segala imajinasi pemikiran manusia tentang alam semesta, kehidupan dan manusia yang didalamnya tercakup sikap Islam terhadap manusia, alam semesta serta hubungan manusia dengan makhluk Allah yang lain. Melalui syareat siswa dapat mendapatkan gambaran yang logis dan sempurna tentang hubungan dirinya dengan alam semesta sehingga ia dapat mengetahui asal-usul, tempat kembali, nilai, fungsi serta tujuan hidupnya. Syareat juga membentuk kekhasan akal siswa sehingga ia memiliki jangkauan pemikiran yang lebih panjang dari pada perasaanya.


Syareat juga akan menjadi control prilaku siswa, sehingga dalam menghadapi setiap masalah siswa akan menjadikan syareat sebagai acuan utamanya. Demikian juga dengan pengembangan ini diharapkan siswa dalam hidupnya dikendalikan oleh pengetahuan yang dimilikinya sehingga ia tidak menjadi haus kekuasaan, melainkan ia tetap dapat menggunakan dan memanfaatkan pengetahuan untuk mengelolah bumi dengan sebaik-baiknya dan hanya untuk kemaslahatan manusia. Atau dengan kata lain, siswa mempunyai kemampuan dalam berfikir dan berdzikir secara seimbang.
Pengembangan fitrah akliyah siswa, pada akhirnya dipengaruhi oleh berbagai factor, diantaranya factor endogen dan eksogen. Faktor endogen adalah factor yang berada dalam diri siswa, seperti factor fisiologis dan psikologis. Adapun factor eksogen adalah factor yang ada diluar siswa, seperti; lingkungan social, non-sosial dan pendekatan belajar. Sehingga untuk lebih terarah pengembangan fitrah akliyah siswa tersebut diperlukan kerjasama yang harmonis antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Penulis adalah Kepala MTsN 4 Indramayu dan Pemerhati Pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *