Berbicara mengenai pendidikan, rasanya tidak akan ada habisnya. Namun dalam bahasan ini yang akan dikemukakan adalah masalah lembaga pendidikan. Sesungguhnya lembaga pendidikan dapat dikelasifikasikan menjadi tiga, yaitu pesantren, madrasah dan sekolah.
Masing-masing lembaga tersebut mempunyai ciri yang membedakannya dengan yang lainnya. Pesantren sering kali diangap lembaga pendidikan yang indigenous, memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relative sentral dalam dunia keilmuan masyaraktnya.
Secara historis, pesantren telah membuktikan dirinya sebagai suatu lembaga pendidikan Islam yang established (mapan). Perubahan-perubahann sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya sejauh ini kelihatnnya tidak begitu banyak berpengaruh terhadap kelanjutan eksistensi pesantren. Pesantren sejak masa penjajahan sampai sekarang ini membuktikan diri sebagai benteng cultural dan keagamaan umat yang tangguh.
Dalam konteks keilmuan, keberadaan pesantren merupakan perwujudan dari egalitarianisme Islam dilapangan keilmuan. Transmisi keilmuan dilingkungan pesantren pada umumnya berlangsung lebih melalui penanaman ilmu (knowledge implantation) dari pada pengembangan ilmu. Menurut Azyumari Azra, sedikitnya ada tiga fungsi pokok pesantren. Pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge). Kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, Pembinaan calon-calon ulama (reproduction of ulama). Dilihat dari konteks ini bisa dipahami kenapa proses pendidikan dan pengajaran dipesantren sangat menekankan pada hafalan atau memorisa. Dalam tradisi keilmuan, tradisi hafalan bahkan sering dipandang lebih otoritatif dibandingkan dengan transmisi secara tertulis.
Namun apa yang dijelaskan diatas adalah sebuah model pesantren tardisional, dan sangat berbeda dengan pesantren moderen. Dalam pesantren modern, hafalan tidak lagi menjadi hal yang utama, bahkan ilmu yang diajarkan tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, melainkan ilmu umum pun diajarkan. Sehingga sering dijumpai lulusan pesantren tidak kalah kualitas keilmuanya dengan sekolah-sekolah moderen. Sebut saja Prof. Dr. Nurcholis Madjid (alm) lulusan Pesantren Gontor Ponorogo.
Lembaga pendidikan yang kedua adalah Madrasah yang keberadaannya di Indonesia sudah ada sejalan dengan perkembangan Islam di Nusantara ini. Menurut Al-Maqrizi dalam bukunya yang berjudul; Ittiadz al-Hunafa bi Akhbar al-Aimmah al-Fatimiyyah al-Khulafa, mengatakan bahwa madrasah baru tumbuh dan berkembang pada abad ke lima Hijriyah. Madrasah pertama yang didirikan pada abad kelima Hijriyah ini adalah Madrasah Nizamiyah yang didirikan pada tahun 457 H oleh Nizam al-Mulk.
Muhammad Abd Rahim Ghanimah dalam karyanya al-Islamiyah al Kubra, menyatakan bahwa madrasah belum dijumpai pada sumber-sumber sejarah hingga kira-kira akhir abad ke-4 H. Akan tetapi banyak bukti yang signifikan justru menunjukan bahwa madrasah telah berdiri sejak abad ke-4 H dan dihubungkan dengan penduduk Naisabur. Hasan Abd al-Al, yang secara khusus melakukan kajian mengenai pendidikan Islam pada abad itu, memperkuat pendapatnya dengan mengajukan bukti-bukti berdasarkan karya penulis-penulis pada abad ke-4 H. Beberapa sumber yang ia kutip antara lain; Ahsan al-Taqsim fi Marifat al-Aqalim karya al-Maqdisi (wafat 378 H), Tabaqat al-Syafiiyah al-Kubra karya al-Subki (316-388 H), al-Rasail karya Badi al-Zaman al-Hakim al-Naisaburi (wafat 406 H) dan yang lainnya. Apapun alasanya, yang pasti Madrasah mempunyai peran signifikan dan tercatat sebagai lembaga pendidikan yang berperan dalam pencapaian kejayaan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abasiyah.
Di Indonesia, Madrasah tumbuh dan berkembang dari bawah dalam arti masyarakat yang didasari oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam. Kelahiran madrasah ini tidak sepenuhnya menjadi kelanjutan lembaga pendidikan tradisonal yang sudah berkembang sebelumnya. Namun ada faktor yang mempengaruhi pertumbuhan madrasah yaitu faktor desakan politik colonial dan munculnya pembaharuan pemikiran keagamaan.
Gagasan dari para tokoh pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, mendorong pemerintah mensejajarkan madrasah dengan sekolah formal lainnya. Barangkali perbedaanya pada muatan kurikulumnya dimana madrasah lebih banyak mutan agamanya ketimbang sekolah-sekolah umum lainnya. Sehingga ada istilah bahwa sesungguhnya madrasah adalah sekolah berciri khas Islam.
Barangkali lembaga pendidikan yang paling ramai ditengah-tengah masyarakat kita adalah sekolah. Dengan berbagai bentuknya (SD, SMP, SMA/SMK), sekolah di Indonesia nampaknya mengalami kemajuan dibanding zaman dahulu. Kemajuan ini bisa kita amati dari semakin banyaknya partisipasi masyarakat disamping beraneka ragamnya bentuk-bentuk sekolah yang lebih kepada pengkhususan bidang ilmu pengetahuan, seperti Sekolah Menengah Khusus (SMK).
Perbedaan mendasar antara Sekolah dan Madrasah adalah pada muatan kurikulumnya, dimana pada kurikulum madrasah lebih banyak muatan agamanya bila dibanding dengan sekolah. Disamping itu, sekolah keberadaanya dibawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, sementara madrasa pada Departemen Agama.
Dari penjelasan diatas, nampak bahwa sesungguhnya antara pesantren, madrasah dan sekolah adalah sebuah institusi pendidikan yang mempunyai ciri khas masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Keberadaan ketiga lembaga tersebut sangat membantu dalam usaha mencerdaskan masyarakat. Dikotomi pendidikan sebagai warisan colonial Belanda tidak perlu dilestarikan. Oleh karena itu pemerintah harus lebih tanggap dan peka terhadap lembaga-lembaga pendidikan tersebut agar kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak dianggap sebagai bentuk diskriminasi.